Latest Entries »

PENILAIAN BERBASIS KELAS

PENILAIAN BERBASIS KELAS

OLEH : FAT HURRAHMAN

A. Pengertian Penilaian Berbasis Kelas

Penilaian Berbasis Kelas (PBK) adalah penilaian yang dilakukan oleh guru dalam rangka proses pembelajaran. PBK merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru  untuk menetapkan tingkat pencapaian dan penguasaan peserta didik terhadap tujuan pendidikan ( standar komptensi, komptensi dasar, dan indikator pencapaian hasil belajar). Penilaian Berbasis Kelas merupakan prinsip, sasaran yang akurat dan konsisten tentang kompetensi atau hasil belajar siswa serta pernyataan yang jelas mengenai perkembangan dan kemajuan siswa. maksudnya adalah hasil Penilaian Berbasis Kelas dapat menggambarkan kompetensi, keterampilan dan kemajuan siswa selama di kelas.

Depdiknas (2002), menjelaskan bahwa Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan salah satu komponen dalam kurikulum berbasis kompetensi. PBK itu sendiri pada dasarnya merupakan kegiatan penilaian yang dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dengan mengumpulkan kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis (paper and pen). Fokus penilaian diarahkan pada penguasaan kompetensi dan hasil belajar siswa sesuai dengan level pencapaian prestasi siswa.

B.  Manfaat, Keunggulan dan Prinsip Penilaian Berbasis Kelas.

1)  Hasil Penilaian Berbasis Kelas bermanfaat untuk :

  1. Umpan balik bagi siswa dalam mengetahui kemampuan dan kekurangannya sehingga menimbulkan motivasi untuk memperbaiki hasil belajarnya.
  2. Memantau kemajuan dan mendiagnosis kemampuan belajar siswa sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remidiasi untuk memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan kemajuan dan kemampuannya.
  3. Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya di kelas.
  4. Memungkinkan siswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan walaupun dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda.

2) Keunggulan Penilaian Berbasis Kelas adalah

  1. Pengumpulan informasi kemajuan belajar baik formal maupun non formal diadakan secara terpadu, dalam suasana yang menyenangkan, serta senantiasa memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang diketahui, dipahami dan mampu dikerjakan siswa.
  2. Pencapaian hasil belajar siswa tidak dibandingkan dengan prestasi kelompok (norm reference assessment), tetapi dibandingkan dengan kemampuan sebelumnya kriteria pencapaian kompetensi, standar pencapaian, dan level pencapaian nasional, dalam rangka membantu anak mencapai apa yang ingin dicapai bukan untuk menghakiminya.
  3. Pengumpulan informasi menggunakan berbagai cara, agar kemajuan belajar siswa dapat terdeteksi secara lengkap.
  4. Siswa perlu dituntut agar dapat mengeksplorasi dan memotivasi diri untuk mengerahkan semua potensi dalam menanggapi, mengatasi semua masalah yang dihadapi dengan caranya sendiri, bukan sekedar melatih siswa memilih jawaban yang tersedia.
  5. Untuk menentukan ada tidaknya kemajuan belajar dan perlu tidaknya bantuan secara berencana, bertahap dan berkesinambungan, berdasarkan fakta dan bukti yang cukup akurat.

3)  Prinsip-prinsip Penilaian Berbasis Kelas

  1. Valid, penilaian memberikan informasi yang akurat tentang hasil belajar siswa.
  2. Mendidik, penilaian harus memberikan sumbangan positif terhadap pencapaian belajar siswa.
  3. Berorientasi pada kompetensi, penilaian harus menilai pencapaian kompetensi yang dimaksud dalam kurikulum.
  4. Adil, penilaian harus adil terhadap semua siswa dengan tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, bahasa dan gender.
  5. Terbuka, kriteria penilaian dan dasar pengambilan keputusan harus jelas dan terbuka bagi semua pihak.
  6. Berkesinambungan, penilaian dilakukan secara berencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar siswa sebagai hasil kegiatan belajarnya.  (Depdiknas, 2002).

C. Ranah Kognitif, Ranah Afektif dan Ranah Psikomotor sebagai Objek Evaluasi Hasil  Belajar.

  1. 1. Ranah Kognitif.

Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom dalam Sudijono (2003:49) segala upaya yang menyangkut aktifitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif terdapat 6 (enam) jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang yang terendah sampai jenjang yang paling tinggi, yaitu : (a) Pengetahuan (Knowledge),  (b) Pemahaman (Comprehension), (c) Penerapan (Application), (d) Analisis (Analysis. (e) Sintesis (Syntesis), dan (f) Penilaian/penghargaan (Evaluation). Keenam jenjang berpikir  ranah kognitif ini bersifat kontinum dan everlap (tumpang tindih), dimana ranah yang lebih tinggi meliputi semua ranah yang ada di bawahnya.

  1. 2. Ranah Afektif.

Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar menyatakan bhwa sukap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif ditaksonomi  menjadi lebih rinci ke dalam 5 (lima) jenjang, yaitu: (a) Menerima atau memperhatikan (Receiving/Attending), (b) menanggapi (Responding), (c) menilai (Valuing). (d) menilai atau menghargai, (e) mengatur (Organization),

3.  Ranah Psikomotor.

Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.

D. Strategi Penilaian Berbasis Kelas.

Sekalipun tidak selalu sama, namun pada umumnya para pakar dalam bidang evaluasi/ penilaian pendidikan merinci kegiatan evaluasi hasil belajar ke dalam 6 (enam) langkah pokok, yakni:

1.  Menyusun Rencana Evaluasi Hasil Belajar.

Sebelum evaluasi hasil belajar dilaksanakan, harus disusun lebih dahulu perencanaannya secara baik dan matang. Perencanaan evaluasi hasil belajar itu umumnya oleh Sudijono (2003:59) mencakup enam jenis kegiatan, yakni: (a) Merumuskan tujuan dilaksanakannya evaluasi. (b) menetapkan aspek-aspek yang akan dievaluasi, (c) memilih dan menentukan teknik yang akan dipergunakan di dalam pelaksanaan evaluasi, (d)  Menyusun alat-alat pengukur dan penilaian hasil belajar peserta didik, (e) Menentukan tolak ukur, norma atau kriteria yang akan dijadikan pegangan atau patokan dalam memberikan interpretasi terhadap data hasil evaluasi dan (f) Menentukan frekuensi dari kegiatan evaluasi hasil belajar itu sendiri (kapan dan seberapa kali evaluasi hasil belajar itu akan dilaksanakan).

2.  Menghimpun Data.

Dalam evaluasi hasil belajar, wujud nyata dari kegiatan menghimpun data adalah melaksanakan pengukuran, misalnya dengan menyelenggarakan tes hasil belajar (apabila evaluasi hasil belajar itu menggunakan teknik tes), atau melakukan pengamatan, wawancara, atau angket dengan menggunakan instrumen-instrumen tertentu berupa rating scale, check list, interview guide, atau questionnaire (apabila evaluasi hasil belajar menggunakan teknis non tes).

3.  Melakukan Verifikasi Data.

Data yang telah berhasil dihimpun harus disaring lebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut. Proses penyaringan itu dikenal dengan istilah penelitian data atau verifikasi data. Verifikasi data dimaksudkan untuk dapat memisahkan data yang “baik” (yaitu data yang dapat memperjelas gambaran yang akan diperoleh mengenai diri individu atau sekelompok individu yang sedang dievaluasi) dari data yang “kurang baik” (yaitu data yang akan menguburkan gambaran yang akan diperoleh apabila data itu ikut serta diolah).

4.   Mengolah dan Menganalisis Data.

Mengolah dan menganalisis hasil evaluasi dilakukan dengan maksud untuk memberikan makna terhadap data yang telah berhasil dihimpun dalam kegiatan evaluasi. Untuk keperluan itu, maka data hasil evaluasi perlu disusun dan diatur sedemikian rupa sehingga “dapat berbicara”. Dalam menggolah dan menganalisis data hasil evaluasi itu dapat dipergunakan teknik statistik dan atau teknik non statistik, tergantung kepada jenis data yang akan diolah atau dianalisis. Dengan analisis statistic misalnya, penyusunan atau pengaturan dan penyajian data lewat tabel-tabel, grafik, atau diagram, perhitungan-perhitungan rata-rata, standar deviasi, pengukuran korelasi, uji benda mean, atau uji benda frekuensi dan sebagainya akan dapat menghasilkan informasi-informasi yang lebih lengkap dan amat berharga.

5.   Memberikan Interpretasi dan Menarik Kesimpulan.

Memberikan interpretasi terhadap data hasil evaluasi belajar pada hakikatnya adalah merupakan verbalisasi dari makna yang terkandung dalam data yang telah mengalami pengolahan dan penganalisisan itu. Atas dasar interpretasi terhadap data hasil evaluasi itu pada akhirnya dapat dikemukakan kesimpulan-kesimpulan tertentu. Kesimpulan-kesimpulan hasil evaluasi itu sudah barang tentu harus mengacu kepada tujuan dilakukannya evaluasi itu sendiri.

6.  Tindak Lanjut Hasil Evaluasi.

Bertitik tolak dari hasil evaluasi yang telah disusun, diatur, diolah, dianalisis dan disimpulkan sehingga dapat diketahui apa makna yang terkandung di dalamnya, maka pada akhirnya evaluator akan mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang dipandang perlu sebagai tindak lanjut dari kegiatan hasil evaluasi tersebut. Harus senantiasa diingat bahwa setiap kegiatan evaluasi menuntut adanya tindak lanjut yang konkrit. Tanpa diikuti oleh tindak lanjut yang konkrit, maka pekerjaan evaluasi itu hanya akan sampai kepada pernyataan, yang menyatakan bahwa; “saya tahu, bahwa begini dan itu begitu”. Apabila hal seperti itu terjadi, maka kegiatan evaluasi itu sebenarnya tidak banyak membawa manfaat bagi evaluator.

E.  Pelaksanaan Penilaian Berbasis Kelas dalam Proses Pembelajaran.

Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari diri individu maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan.

Dalam pembelajaran tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Umumnya pelaksanaan pembelajaran mencakup 3 (tiga) tahapan yang dalam 3 (tiga) tahapan tersebut dapat dilakukan penilaian kelas. Tiga tahapan dimaksud, antara lain: (1) Pretest (tes awal). (2) Proses Pembelajaran. (3) Postest (tes akhir).

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

Depdiknas, 2002. Ringkasan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah, Jakarta:  Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

Hasan Chalijah, 1994.  Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Penerbit : Al-Ikhlas Surabaya

Soetopo H, 2002 :  Pendekatan Joyful Learning Dalam Pembelajaran PLH. Makalah disampaikan Pada seminar Nasional ‘ Pengembangan Program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang Diselenggarakan Oleh Proyek PKLH Ditjen Dikdasmen  Depdiknas Jakarta 20 agustus 2002.

Sudijono, Anas, 2003. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Thoha, M. Chabib, 2003. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Undang Undang  RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidkan Nasional (SISDIKNAS). Penerbit :  CITRA UMBARA Bandung

PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI

A. Pendahuluan

Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.

Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1]

B. Biografi

Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2]

Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3]

Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.[4]

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[5]

Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.

Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.

Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.

K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.

Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6]

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.

Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.

K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.[7]

C. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan

Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[8]

Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.

Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.

Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.

Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.

Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9]

Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.[10]

Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.[11]

Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.[12]

Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[13]

Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.

Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.[14]

Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.[15]

Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.

Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.

Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.

Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.

Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.

Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.

Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.

Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.

kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.

kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.

Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.

Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.

Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.

ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.

Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul.

Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.

Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah,

ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.

Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.

Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.

Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.

Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.

Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.[16]

D. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Sosial

Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[17]

Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).[18]

KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar.

Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[19]

Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.

Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).[20]

E. Karya K. H. Hasyim Asy’ari

Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.

Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.

Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.[21]

Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.

Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[22]

F. Analisis

Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat.

G. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).

Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.

Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.


[1]. A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004 h. 319

[2]. Ibid, h. 319

[3]. httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm

[4]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[5]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[6]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 319-320

[7]. Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993. h. 138-139

[8]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[9]. httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan-dan.html

[10]. Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 309

[11]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[12]. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005). h. 218

[13]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[14]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[15]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[16]. httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurut-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm

[17]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[18]. Ensiklopedia Islam, Op Cit. h. 309

[19]. Nuril M Nasir Alumnus Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm

[20]. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Cet IV. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). h. 102

[21]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[22]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 321

PEMIKIRAN PROF. DR. HARUN NASUTION

A. Pendahuluan

Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkem­bang pada Zaman Klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada Zaman Pertengahan Islam (1250-1800 M).

Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana ting­ginya kedudukan akal seperti terdapat dalam AI-Quran dan hadits.

Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik.

Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang J sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan AI-Quran dan hadits.[1]

Sejak abad kesembilan belas inikembali tumbuh di Dunia Islam pemikiran rasional yang agamis dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional agamis ini.

Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath ‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.[2]

B. Riwayat Hidup Harun Nasution

Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Ayah Harun juga seorang ulama yang menguasai kitab-kitab Jawi dan suka membaca kitab kuning berbahasa Melayu. Sedangkan, ibunya seorang boru Mandailing Tapanuli, Maimunah keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa kegiatan di Masjidil Haram. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama, keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan.

Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya.[3]

Selama 7 tahun ia belajar di HIS dan tamat pada tahun 1934 ketika berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alam dan sejarah.[4]

Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional.

Di negeri gurun pasir itu, Harun tidak lama dan memohon pada orang tuanya agar mengizinkannya pindah studi ke Mesir. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo.

Pada usia 24 tahun beliau rnenikahi gadis Mesir, Sayedah. Pada saat itu pula Harun telah menyelesaikan studinya di Uninversitas Amerika di Cairo yang berhasil mendapatkan gelar B. A (serjana muda).[5]

C. Pemikiran-Pemikiran Harun Nasution

  1. Akal

Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحى), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh (عقلوه) dalam 1 ayat, Ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, Na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu dating dalam arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut:

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah; 75)

“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Q. S. Al-Hajj; 46)[6]

Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q. S. Al-Mulk; 10)

Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.

Bagaimanapun ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan di atas oleh ayat 46 dari surah Al-Hajj, pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Ayat-ayat berikut juga menjelaskan demikian:

“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Q. S. Al-A’raaf; 179)[1]

Tidak mengherankan kalau pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat Yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs النفس atau al-ruh الروح) yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al-ruh berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah masuk ke dalam bahasa kita dalam bentuk nafsu, nafas dan roh.[2]

  1. Wahyu

Wahyu bersal dari kata al-wahy (الوحى), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”.

Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surah Al-Syura menjelaskan:

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syuura 51)[3]

Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.[4]

Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah Al-Syu’ara dijelaskan:

“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, – Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), – ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, – dengan bahasa Arab yang jelas.” (Q. S. Asy-syuara; 192-195)[5]

Filosof yang mempunyai akal perolehan lebih rendah dari Nabi yang memperoleh akal material atau hads. Dengan lain kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi. Nabi tetaplah orang pilihan Tuhan. Selan­jutnya filosof hanya dapat menerima ilham, wahyu hanya diberikan kepada Nabi-nabi.

Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat di­lakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun men­jauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.[6]

AI-Farabi, filosof Islam yang hidup di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, telah juga membawa konsep imateri berubah menjadi materi ini dalam falsafat penciptaan alam semesta yang dikenaI dengan falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah dijelaskan sebelumnya. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti dilihat di atas adalah daya pikir.

Ditinjau dari perkembangan masalah materi dan imateri ini, pertanyaan tentang bagaimana wahyu yang bersifat imateri berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan.[7]

Dikalangan kaum Orientalis yang menulis tentang Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. ini juga banyak dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu. Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual).

Tor Andrae membawa ayat Al-Qur’an untuk memperkuat uraian di atas.

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya – Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. – Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. – Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”(Q. S. Al-Qiyaamah; 16-19)[8]

  1. Pentingnya Akal

Akal, menurut Muhammad Abduh, adalah suatu .daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang mem­perbedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Pening­katan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan surnber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.

Umat manusia diketika Islam datang, demikian Muhammad Abduh, telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Apa yang mereka cari itu, mereka jumpai dalam Islam. Tidak mengherankan kalau ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur’an berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada perasaannya. Aka1, demikian ia menegaskan, dimuliakan Allah dengan menujukan perintah dan larangan-Nya kepada­nya.

Oleh karena itu, dalarn Islamlah “agama dan akal buat per­tama kalinya menjalin hubungan persaudaraan.” Di dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang ter­kuat dan wahyu sendinya yang terutama. Antara akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan.

Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid.[9]

  1. Asal-Usul Tasawuf

Misitisisme dalam Islam diberi nama tasawwuf dan oleh kaum Orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam ilstilah Orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain.

Tasawuf atau Sufisme sebagaimana halnya Jengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkotemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (الاتحاد), bersatu dengan Tuhan.

Tasawwuf. merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawwuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.[10]

B. Karya-Karya Harun Nasution

Dalam rangka mengembangkan pemikirannya, Harun Nasution telah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai berikut:

  1. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini terdiri dari dua jilid, diterbitkan pertama kali oleh UI-Press, yang intinya adalah memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya. Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam menurut buku Harun ini lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-­lembaga, dan politik.
  2. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama, mengandung uraian tentang aliran dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga yang pernah terdapat dalam Islam seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahli sunnah wal jama’ah. Uraian diberikan sedemikian rupa, sehingga di dalamnya tercakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran terpenting dari masing-masing aliran atau golongan itu, dan mengandung analisa dan perbandingan dari aliran-aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran mana yang bersifat liberal, mana yang bersifat tradisional. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1972 oleh UI-Press.
  3. Filsafat Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu, ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan Tuhan. Buku ini semula diterbitkan Bulan Bintang.
  4. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978). Buku ini juga merupakan kumpulan ceramah Harun di IKIP Jakarta. Buku ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian falsafat Islam dan bagian mistisisme Islam (tasawuf). Bagian falsafat Islam menguraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafat Yunani yang kemudian melahirkan filosuf muslim seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd. Sedangkan, bagian mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Buku ini terbit perdana tahun 1973 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
  5. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini merupakan kumpulan ceramah dan kuliah Harun Nasution di berbagai tempat di Jakarta tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut periode modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaruan yang terjadi di tiga negara Islam, yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, murid dan pengikut Muhammad Abduh), Turki, (topik intinya; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, tiga aliran pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa Kemal), dan India-Pakistan (topik intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India.
  6. Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian aka I dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam. Uraian tegas buku ini menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran keagamaan sendiri. Akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk kepada teks wahyu.
  7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987). Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tesis Ph.D. Harun Nasution yang berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views”, diselesaikan bulan Maret 1968 di McGill, Montreal, Kanada. Buku ini berisi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Inti buku ini menjelaskan bahwa pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh jauh melebihi pemikiran Mu’tazilah.
  8. Islam Rasional (1995). Buku ini merekam hampir seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.[11]

C. Analisa

Harun adalah seorang figur yang dapat dicatat dalam sejarah Islam Indonesia, sebab dengan pemikiran-pemikiran rasionalnya Harun mencoba untuk menghilangkan salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia, yaitu dominasi Asy’arisme yang sangat bersifat Jabariyah (terlalu mengarah kepada takdir) atau faham fatalisme. Sebagai usaha ke arah itu, Harun dalam berbagai tulisannya selalu menghubungkan akal dengan wahyu dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu ke dalam pandangan Al-Qur’an yang demikian penting dan bebas.

Harun terus berusaha mengadakan pembaharuan dan merubah kurikulum yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah, dulu mereka takut menggunakan akal, tetapi dengan adanya perubahan yang Harun lakukan mereka sudah bisa berpikir rasional, itulah kesimpulan para ahli filsafah Islam tentang IAIN Syarif Hidayatullah.

Untuk pandangan teologi rasional, Harun sering kali menunjukkan pada tradisi pemikiran teologi Mu’tazilah dan juga para pemikir pembaharu berikut seperti Muhammad Abduh dan lainnya. Tapi, mengenai pandangan teologi tradisional Harun menunjukkan pada pandangan Asy’ariyah.

Atas dasar inilah Harun membawa pemikiran-pemikiran yang diintrodusir IAIN Syarif Hidayatullah, sehingga waktu mengenalkannya Harun menggunakan pendekatan filosofis dalam buah pikirannya, seperti “Islam ditinjau dari berbagai aspek-aspeknya”, dan hasilnya Harun dapat tanggapan yang baik dikalangan terpelajar muslim Indonesia, sehingga terjadi dialog, perdebatan bahkan kritikan.

Akhir dari semua itu, Harun berhasil membawa IAIN Syarif Hidayatullah sebagai salah satu IAIN yang terpandang di Indonesia.

D. Kesimpulan

Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar.

Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya.

Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.

Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid.

Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat di­lakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun men­jauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

  • Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003).
  • Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001).
  • Muzani, Syaiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung. 1995).
  • Nasution, Harun. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986).
  • Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973).
  • Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah. (Universitas Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987).

[1]. Ibid. hlm. 6-7

[2]. Ibid. hlm. 8

[3]. Ibid. hlm. 15-16

[4]. Syaiful Muzani. Op Cit. hlm. 17

[5]. Prof. Dr. Harun Nasution. Op Cit. hlm. 15-16

[6]. Ibid. hlm. 18

[7]. Ibid. hlm. 20

[8]. Ibid. hlm. 22

[9]. Prof. Dr. Harun Nasution. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah. (Universitas Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987). hlm. 44-46

[10]. Prof. Dr. Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973). hlm. 56

[11]. Abdul Halim. Op Cit. hlm. 18-22


[1]. Syaiful Muzani. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung. 1995). hlm. 7

[2]. Ibid. hlm. 9

[3]. Abdul Halim. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001). hlm. 3

[4]. Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). hlm. 19

[5]. Abdul Halim. Op Cit. hlm. 4

[6]. Prof. Dr. Harun Nasution. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986). hlm. 5

NIKAH SUNNAH RASULULLAH SAW

NIKAH SUNNAH RASULULLAH SAW

a. Materi Dan Arti Hadits
حدسنا سعيد بن أبي مريم أخبرنا محمد بن جعفر أخبرنا حميد بن أبي حميد الطويل أنه سمع أنس بن مالك رضي الله عنه يقول جاءثلاث رهط الي بيوت أزواج النبي صلي الله عليه و سلم يسألون عن عبادة النبي النبي صلي الله عليه و سلم فلما أخبروا كأنهم تقلوها فقالوا و اين نحن من النبي صلي الله عليه و سلم قد غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال احدهم أما انا فإني اصلي الليل ابدا وقال اخر انا اصوم الدهر ولا افطر وقال اخر انا اعتزل النساء فلا اتزوج ابدا فجاء رسول الله صلي الله عليه و سلم إليهم فقال انتم الذين قلتم كذا وكذا اما والله اني لأخشاكم لله واتقاكم له لكني اصوم وافطر واصلي وارقد واتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني (اخرجه البخاري في كتاب النكاح باب الترغيب في النكاح)
Artinya :
….Anas Ibn Malik berkata : Datang tiga golongan kerumah istri-istri Nabi SAW ketika diterangkan kepada mereka seakan-akan mereka menganggapnya terlalu sedikit, mereka berkata : “Jadi di mana kami dibandingkan dengan Nabi SAW padahal beliau telah diampuni dosa-dosa beliau yang terdahulu dan yang akan datang” salah satu dari mereka berkata : “ sedangkan aku shalat malam terus menerus” yang lain berkata “Aku berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka “ yang lain berkata : “Aku menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya “maka datanglah Nabi SAW kepada mereka lalu berkata : Kalian yang berkata begini dan begitu, Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian dan lebih taqwa daripada kalian dihadapanNya akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur dan aku mengawini wanita, barang siapa yang membenci Sunnahku maka ia bukan golonganku. (HR. al-Bukhary pada kitab Nikah Bab keinginan untuk menikah)

b. Perawi Awal dan Perawi Akhir
Perawi awal hadits ini adalah Anas Ibn Malik Ra sedangkan Perawi akhirnya, adalah Bukhry.

c. Sanad dan Cara Penyampaian Hadits
Anas Ibn Malik
(Tahtamil Sima’)
Humaid Ibn Abu Humaid
(Ikhbar)
Muhammad Ibn Ja’far
(Ikhbar)
Said Ibn Abu Maryam
(Tahdits)

d. Takhrij Hadits

No NAMA
1. Shahih Muslim
2. Sunan al-Nasa’i

3. Musnad Ahmad

KITAB KITAB/BAGIAN

1. Nikah

2. Nikah

3. Baqi Musnad al-Mukatsirin

NO. HADITS

1. 2487

2. 3165

3. 13045. 13230,13534

f. Nilai Hadits


Nilai hadits shahih riwayat al-Bukhary pada kitab al Nikah bab al –Targhib fi al-Nikah.

PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN

Pendahuluan

Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan eorak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Riwayat Hidup Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir.
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu.
Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.
Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah b. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.
Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.

Pemikiran Ahmad Dahlan

  1. Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun ­tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
  2. Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
    Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat ­laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
  3. Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan
    Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat te­robosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per­kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggo­ta-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor­-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berha­rap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pe­lajaran dan cara mengajar agama yang di­berikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ah­mad Dahlan membuka sendiri sekolah se­cara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersi­fat permanen.
  4. Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan
    Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
    Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.

Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.

Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini.
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Analisa
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

Kesimpulan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per­kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah.

DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Islam Indonesia. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2000).

Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2001).

Mujib, A, dkk. Intelektualisme Pesantren. (Diva Pustaka. Jakarta. 2003).

Wikipedia Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. (Mizan. Jakarta. 2002).