Category: Tokoh dan Ulama Pembaharu Dalam Dunia Islam


[ diantara penumpang pesawat Dakota jurusan Jakarta – Kalimantan (selatan) itu terdapat K.H A. Wahid Hasyim, K. H. Imam Zarkasyi, K. H Saifuddin Zuhri dan K. H Idham Chalid.
Dalam Pesawat terbang itu K. H. A Wahid hasyim Membisiki K. H Saifuddin Zuhri, agar selalu dekat dengan Idham Chalid. “ Ceritakan hal-hal yang bertalian dengan Nahdlatul Ulama, “pesannya.
K.H. A Wahid hasyim ingin menjadikan  Idham Chalid seorang tokoh dalam Nahdlatul Ulama dalam tempo tidak terlalu lama]
Idham Chalid benar-benar luput dari perhatian para sarjana sekalipun dia pernah menjadi Wakil Perdana Mentri dan Ketua Umum PBNU paling lama dalam sejarah. Alasan-alasan pengabaian ini berhubungan dengan situasi politik dan budaya di mana Idham bekerja. Idham bukanlah seorang pemimpin yang suka mengumbar keberhasilan atau prestasi yang di capainya. Dia adalah seseorang rendah hati dan tidak suka menarik perhatian publik dan berbeda dari banyak teman seangkatannya, dia tidak menerbitkan suatu autobiografi yang memetakan kehidupan dan pemikirannya.
Demokrasi terpimpin (Guided Democracy) adalah suatu fase politik dan realitas ketatanegaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini, yang terlaksana secara formal antara 1959-1965, atau tepatnya sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya kudeta (kup) G 30 S 1965. Suatu masa yang tidak lebih lama dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah di jalankan di Indonesia.
Demokrasi Terpimpin muncul karena ketidak senangan sebagian masyarakat politik Indonesia terhadap sistem Demokrasi Parlementer.

[ diantara penumpang pesawat Dakota jurusan Jakarta – Kalimantan (selatan) itu terdapat K.H A. Wahid Hasyim, K. H. Imam Zarkasyi, K. H Saifuddin Zuhri dan K. H Idham Chalid. Dalam Pesawat terbang itu K. H. A Wahid hasyim Membisiki K. H Saifuddin Zuhri, agar selalu dekat dengan Idham Chalid. “ Ceritakan hal-hal yang bertalian dengan Nahdlatul Ulama, “pesannya. K.H. A Wahid hasyim ingin menjadikan  Idham Chalid seorang tokoh dalam Nahdlatul Ulama dalam tempo tidak terlalu lama]
Idham Chalid benar-benar luput dari perhatian para sarjana sekalipun dia pernah menjadi Wakil Perdana Mentri dan Ketua Umum PBNU paling lama dalam sejarah. Alasan-alasan pengabaian ini berhubungan dengan situasi politik dan budaya di mana Idham bekerja. Idham bukanlah seorang pemimpin yang suka mengumbar keberhasilan atau prestasi yang di capainya. Dia adalah seseorang rendah hati dan tidak suka menarik perhatian publik dan berbeda dari banyak teman seangkatannya, dia tidak menerbitkan suatu autobiografi yang memetakan kehidupan dan pemikirannya.Demokrasi terpimpin (Guided Democracy) adalah suatu fase politik dan realitas ketatanegaraan dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebuah eksperimentasi sistem politik yang pernah dilakukan oleh tokoh dan pemimpin bangsa ini, yang terlaksana secara formal antara 1959-1965, atau tepatnya sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 hingga gagalnya kudeta (kup) G 30 S 1965. Suatu masa yang tidak lebih lama dari masa Demokrasi Parlementer yang sebelumnya pernah di jalankan di Indonesia.Demokrasi Terpimpin muncul karena ketidak senangan sebagian masyarakat politik Indonesia terhadap sistem Demokrasi Parlementer.

Tak bisa disangkal, Idham Chalid adalah sosok kontroversial dalam sejarah perpolitikan Nahdlatul Ulama (NU). Ia dianggap sebagai politikus yang tidak memiliki pendirian, mementingkan diri sendiri (egois), dan banyak merugikan kepentingan umat. Bahkan, sikap politiknya yang—dianggap—selalu mengambang di atas dan sering lebih menguntungkan pihak penguasa, membuat dirinya mendapat julukan ‘politikus gabus’ dari Gerakan Pemuda Ansor–organisasi sayap pemuda NU.

Benarkah semua asumsi itu? Buku ini secara jeli berusaha menguak sisi ruang batin Idham Chalid yang tidak terekam oleh ‘sejarah resmi’. Ahmad Muhajir, dalam buku ini, berupaya mengungkap apa yang disebut Urvashi Butalia sebagai ‘sisi balik senyap’ (the other side of silent), yakni berbagai hal tentang Idham yang riil dan hidup di tengah masyarakat, namun tidak dianggap penting sehingga tidak ter(di)suguhkan kepada kita. Berbeda dari persepsi umum yang berkembang di masyarakat mengenai gerak langkah ‘politik abu-abu’ Idham, buku ini mengangkat ‘sisi senyap’ di balik gerakan politik Idham. Melalui buku ini, penulis menelisik lebih jauh ruang terdalam manusiawi seorang tokoh kelahiran Kalimantan Selatan 85 tahun silam tersebut.

Sebagai seorang tokoh NU, Idham memainkan dua lakon berbeda, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya. Ia telah berusaha keras mengupayakan terbentuknya kestabilan kondisi umat di bawah (grassroot) yang menjadi tanggungjawabnya. Meski berbagai stereotip bakal menimpa, ia tak memedulikannya.

Baginya, yang terpenting—dalam berpolitik—adalah berorientasi pada kemaslahatan dan berguna bagi banyak orang. Karenanya, tidak (perlu) harus ngotot dan kaku dalam bersikap, sehingga umat senantiasa terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi di masa itu kondisi politik sedang mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa dan partai politik radikal semacam PKI dengan gerakan reformasi agraria (land reform) dan pemberontakannya.

Strategi politik tersebut dilandaskan pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.

Dalam kaitan ini, Idham memandang bahwa NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru lebih menyulitkan untuk bergerak. Hal ini, misalnya, terlihat ketika ia mengompromikan langkah pemerintah pada masa Orde Lama dengan Demokrasi Baru. Akan tetapi, ketidakmengertian tentang arah politik Idham tersebut, menyebabkannya harus tersingkir dan ter(di)lupakan begitu saja.

Karena itu, kehadiran buku ini tentu saja dapat membuka tabir tersembunyi atau sisi senyap pemikiran seorang Idham, sekaligus menambah deretan mozaik langkah para politisi NU dalam kancah politik yang kurang banyak diungkap ke permukaan. Selain itu, buku ini juga dapat digunakan sebagai rujukan jejak politik tokoh-tokoh politik NU dalam mewujudkan strategi politik di masa lampau seiring semakin maraknya para ulama masa kini yang masuk ke ruang politik ketimbang ruang keumatan.

Di samping itu, nilai tambah buku ini adalah, Ahmad Muhajir juga melakukan tinjauan terhadap literatur-literatur ilmiah tentang Idham Chalid, seraya menyediakan gambaran bagaimana Idham dipotret oleh para sarjana Indonesia dan Barat. Akan tetapi, bagian utama dari teks ini dipersembahkan untuk menjelaskan dan menganalisis pemikiran politik keagamaan Idham, terutama yang berhubungan dengan sikap-sikap NU dalam merespon Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Muhajir memusatkan diri pada penafsiran Idham mengenai konsep syura serta bagaimana tafsiran itu digunakan untuk menjustifikasi penerimaan ideologi semi-otoriter Demokrasi Terpimpin.

Namun demikian, sekalipun bersimpati dalam menggambarkan sang tokoh, Muhajir tetaplah kritis. Sebagai sesama orang Banjar, tentu saja Muhajir memiliki wawasan budaya dan akses kepada sumber-sumber yang tidak dipunyai para sarjana terdahulu. Dia meneliti literatur klasik mengenai syura dan membandingkannya dengan penafsiran yang lebih kontemporer, sebelum berargumen bahwa tulisan-tulisan Idham mengenai konsep ini dipengaruhi oleh situasi politik yang dihadapi NU pada akhir 1950-an.

Praktis, buku setebal 169 ini layak dibaca siapa saja sebagai suatu permulaan bagi perdebatan yang lebih dalam mengenai kiprah Idham Chalid dan perannya dalam sejarah perpolitikan NU. Semoga!

*Peresensi adalah Penikmat Buku dan Kontributor Jaringan Islam Kultural

http://www.nu.or.id

http://pustakamuslim.wordpress.com/2007/09/14/idham-chalid/

PEMIKIRAN PROF. DR. HARUN NASUTION

A. Pendahuluan

Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkem­bang pada Zaman Klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada Zaman Pertengahan Islam (1250-1800 M).

Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana ting­ginya kedudukan akal seperti terdapat dalam AI-Quran dan hadits.

Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik.

Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang J sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan AI-Quran dan hadits.[1]

Sejak abad kesembilan belas inikembali tumbuh di Dunia Islam pemikiran rasional yang agamis dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional agamis ini.

Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath ‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.[2]

B. Riwayat Hidup Harun Nasution

Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Ayah Harun juga seorang ulama yang menguasai kitab-kitab Jawi dan suka membaca kitab kuning berbahasa Melayu. Sedangkan, ibunya seorang boru Mandailing Tapanuli, Maimunah keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa kegiatan di Masjidil Haram. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama, keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan.

Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya.[3]

Selama 7 tahun ia belajar di HIS dan tamat pada tahun 1934 ketika berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alam dan sejarah.[4]

Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional.

Di negeri gurun pasir itu, Harun tidak lama dan memohon pada orang tuanya agar mengizinkannya pindah studi ke Mesir. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo.

Pada usia 24 tahun beliau rnenikahi gadis Mesir, Sayedah. Pada saat itu pula Harun telah menyelesaikan studinya di Uninversitas Amerika di Cairo yang berhasil mendapatkan gelar B. A (serjana muda).[5]

C. Pemikiran-Pemikiran Harun Nasution

  1. Akal

Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحى), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh (عقلوه) dalam 1 ayat, Ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, Na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu dating dalam arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut:

“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah; 75)

“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Q. S. Al-Hajj; 46)[6]

Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q. S. Al-Mulk; 10)

Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.

Bagaimanapun ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan di atas oleh ayat 46 dari surah Al-Hajj, pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Ayat-ayat berikut juga menjelaskan demikian:

“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Q. S. Al-A’raaf; 179)[1]

Tidak mengherankan kalau pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat Yunani, akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs النفس atau al-ruh الروح) yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al-ruh berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah masuk ke dalam bahasa kita dalam bentuk nafsu, nafas dan roh.[2]

  1. Wahyu

Wahyu bersal dari kata al-wahy (الوحى), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”.

Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surah Al-Syura menjelaskan:

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syuura 51)[3]

Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.[4]

Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah Al-Syu’ara dijelaskan:

“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, – Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), – ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, – dengan bahasa Arab yang jelas.” (Q. S. Asy-syuara; 192-195)[5]

Filosof yang mempunyai akal perolehan lebih rendah dari Nabi yang memperoleh akal material atau hads. Dengan lain kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi. Nabi tetaplah orang pilihan Tuhan. Selan­jutnya filosof hanya dapat menerima ilham, wahyu hanya diberikan kepada Nabi-nabi.

Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat di­lakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun men­jauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.[6]

AI-Farabi, filosof Islam yang hidup di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, telah juga membawa konsep imateri berubah menjadi materi ini dalam falsafat penciptaan alam semesta yang dikenaI dengan falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah dijelaskan sebelumnya. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti dilihat di atas adalah daya pikir.

Ditinjau dari perkembangan masalah materi dan imateri ini, pertanyaan tentang bagaimana wahyu yang bersifat imateri berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan.[7]

Dikalangan kaum Orientalis yang menulis tentang Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. ini juga banyak dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu. Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual).

Tor Andrae membawa ayat Al-Qur’an untuk memperkuat uraian di atas.

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya – Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. – Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. – Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”(Q. S. Al-Qiyaamah; 16-19)[8]

  1. Pentingnya Akal

Akal, menurut Muhammad Abduh, adalah suatu .daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang mem­perbedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Pening­katan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan surnber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.

Umat manusia diketika Islam datang, demikian Muhammad Abduh, telah mencapai usia dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Apa yang mereka cari itu, mereka jumpai dalam Islam. Tidak mengherankan kalau ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur’an berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada perasaannya. Aka1, demikian ia menegaskan, dimuliakan Allah dengan menujukan perintah dan larangan-Nya kepada­nya.

Oleh karena itu, dalarn Islamlah “agama dan akal buat per­tama kalinya menjalin hubungan persaudaraan.” Di dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang ter­kuat dan wahyu sendinya yang terutama. Antara akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan.

Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid.[9]

  1. Asal-Usul Tasawuf

Misitisisme dalam Islam diberi nama tasawwuf dan oleh kaum Orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam ilstilah Orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain.

Tasawuf atau Sufisme sebagaimana halnya Jengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkotemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (الاتحاد), bersatu dengan Tuhan.

Tasawwuf. merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawwuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.[10]

B. Karya-Karya Harun Nasution

Dalam rangka mengembangkan pemikirannya, Harun Nasution telah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai berikut:

  1. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini terdiri dari dua jilid, diterbitkan pertama kali oleh UI-Press, yang intinya adalah memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya. Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam menurut buku Harun ini lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-­lembaga, dan politik.
  2. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama, mengandung uraian tentang aliran dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga yang pernah terdapat dalam Islam seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahli sunnah wal jama’ah. Uraian diberikan sedemikian rupa, sehingga di dalamnya tercakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran terpenting dari masing-masing aliran atau golongan itu, dan mengandung analisa dan perbandingan dari aliran-aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran mana yang bersifat liberal, mana yang bersifat tradisional. Buku ini dicetak pertama kali tahun 1972 oleh UI-Press.
  3. Filsafat Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu, ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan Tuhan. Buku ini semula diterbitkan Bulan Bintang.
  4. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978). Buku ini juga merupakan kumpulan ceramah Harun di IKIP Jakarta. Buku ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian falsafat Islam dan bagian mistisisme Islam (tasawuf). Bagian falsafat Islam menguraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafat Yunani yang kemudian melahirkan filosuf muslim seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd. Sedangkan, bagian mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Buku ini terbit perdana tahun 1973 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
  5. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini merupakan kumpulan ceramah dan kuliah Harun Nasution di berbagai tempat di Jakarta tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut periode modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaruan yang terjadi di tiga negara Islam, yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, murid dan pengikut Muhammad Abduh), Turki, (topik intinya; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, tiga aliran pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa Kemal), dan India-Pakistan (topik intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India.
  6. Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian aka I dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam. Uraian tegas buku ini menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran keagamaan sendiri. Akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk kepada teks wahyu.
  7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987). Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tesis Ph.D. Harun Nasution yang berjudul “The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System and Views”, diselesaikan bulan Maret 1968 di McGill, Montreal, Kanada. Buku ini berisi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Inti buku ini menjelaskan bahwa pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh jauh melebihi pemikiran Mu’tazilah.
  8. Islam Rasional (1995). Buku ini merekam hampir seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.[11]

C. Analisa

Harun adalah seorang figur yang dapat dicatat dalam sejarah Islam Indonesia, sebab dengan pemikiran-pemikiran rasionalnya Harun mencoba untuk menghilangkan salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia, yaitu dominasi Asy’arisme yang sangat bersifat Jabariyah (terlalu mengarah kepada takdir) atau faham fatalisme. Sebagai usaha ke arah itu, Harun dalam berbagai tulisannya selalu menghubungkan akal dengan wahyu dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu ke dalam pandangan Al-Qur’an yang demikian penting dan bebas.

Harun terus berusaha mengadakan pembaharuan dan merubah kurikulum yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah, dulu mereka takut menggunakan akal, tetapi dengan adanya perubahan yang Harun lakukan mereka sudah bisa berpikir rasional, itulah kesimpulan para ahli filsafah Islam tentang IAIN Syarif Hidayatullah.

Untuk pandangan teologi rasional, Harun sering kali menunjukkan pada tradisi pemikiran teologi Mu’tazilah dan juga para pemikir pembaharu berikut seperti Muhammad Abduh dan lainnya. Tapi, mengenai pandangan teologi tradisional Harun menunjukkan pada pandangan Asy’ariyah.

Atas dasar inilah Harun membawa pemikiran-pemikiran yang diintrodusir IAIN Syarif Hidayatullah, sehingga waktu mengenalkannya Harun menggunakan pendekatan filosofis dalam buah pikirannya, seperti “Islam ditinjau dari berbagai aspek-aspeknya”, dan hasilnya Harun dapat tanggapan yang baik dikalangan terpelajar muslim Indonesia, sehingga terjadi dialog, perdebatan bahkan kritikan.

Akhir dari semua itu, Harun berhasil membawa IAIN Syarif Hidayatullah sebagai salah satu IAIN yang terpandang di Indonesia.

D. Kesimpulan

Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar.

Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya.

Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.

Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid.

Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat di­lakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun men­jauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

  • Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003).
  • Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001).
  • Muzani, Syaiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung. 1995).
  • Nasution, Harun. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986).
  • Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973).
  • Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah. (Universitas Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987).

[1]. Ibid. hlm. 6-7

[2]. Ibid. hlm. 8

[3]. Ibid. hlm. 15-16

[4]. Syaiful Muzani. Op Cit. hlm. 17

[5]. Prof. Dr. Harun Nasution. Op Cit. hlm. 15-16

[6]. Ibid. hlm. 18

[7]. Ibid. hlm. 20

[8]. Ibid. hlm. 22

[9]. Prof. Dr. Harun Nasution. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah. (Universitas Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987). hlm. 44-46

[10]. Prof. Dr. Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973). hlm. 56

[11]. Abdul Halim. Op Cit. hlm. 18-22


[1]. Syaiful Muzani. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung. 1995). hlm. 7

[2]. Ibid. hlm. 9

[3]. Abdul Halim. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001). hlm. 3

[4]. Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). hlm. 19

[5]. Abdul Halim. Op Cit. hlm. 4

[6]. Prof. Dr. Harun Nasution. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. 1986). hlm. 5

PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN

Pendahuluan

Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan eorak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Riwayat Hidup Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir.
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu.
Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.
Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah b. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.
Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.

Pemikiran Ahmad Dahlan

  1. Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun ­tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
  2. Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
    Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat ­laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
  3. Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan
    Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat te­robosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per­kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggo­ta-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor­-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berha­rap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pe­lajaran dan cara mengajar agama yang di­berikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ah­mad Dahlan membuka sendiri sekolah se­cara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersi­fat permanen.
  4. Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan
    Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
    Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.

Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.

Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini.
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Analisa
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

Kesimpulan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per­kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah.

DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Islam Indonesia. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2000).

Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2001).

Mujib, A, dkk. Intelektualisme Pesantren. (Diva Pustaka. Jakarta. 2003).

Wikipedia Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. (Mizan. Jakarta. 2002).

MUHAMMAD IQBAL

oleh Fat Hurrahman

Prolog.

Pena lebih tajam dari pedang mungkin itu sebuah bait puisi yang paling penting daripada seorang sastrawan yang tidak asing bagi pemikir Islam modern di India dan Pakistan karena di sanalah lahirnya seorang puisitasi Muhammad Iqbal yang dikenal syairnya sejak dulu sampai sekarang.

Riwayat Hidup.

Muhammad Iqbal adalah orang yang menciptakan puisi itu yang lahir pada tahun 1873 di Sialkot, suatu kota tua bersejarah diperbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Ia datang dari keluarga miskin tetapi dengan bantuan beasiswa yang diperoleh di sekolah menengah dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus.

Pendidikan dasar ia tempuh di kota kelahirannya dan masuk Government College (sekolah tinggi pemerintah) Lahore. Ia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold yang meninggalkan Aligarh dan pindah bekerja di Government College Lahore. Iqbal lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta dua mendali emas karena baiknya bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ia akhirnya memperoleh gelar M. A dalam filsafat pada tahun 1899. dan ia meninggal dunia pada 18 maret 1938.

Periode penulisan syair

Pada tahun 1901 Sir Abdul Qodir mulai menerbitkan majalah Urdhu Makhzan yang memberikan tempat berpijak sastra bagi banyak penulis berbakat yang sedang tumbuh.

Pena Iqbal sangat sibuk pada waktu itu dan ia menulis banyak syair mengenai berbagai macam masalah. Sayang sekali Iqbal menghilangkan banyak bait dari syair-syairnya yag ditulis pada waktu itu, dalam koleksi syairnya terakhir yang diterbitkan pada waktu ia hampir berumur 45 tahun.

Syair pada periode itu tampaknya jatuh pada tiga kategori; pertama adalah tentang yang berhubungan dengan alam, kedua Iqbal sebagai seorang sufi dan panteis sejati, dan ketiga Iqbal sebagai kampiun nasionalis India yang baru bangkit. Salah satu syairnya yang panjang ialah Taswir-i-Dart (gambaran kesusahan). Juga terdapat banyak syair dalam periode tersebut yang , melahirkan sentimen-sentimen patriotic dan nasionalistik dan yang paling masyhur syairnya adalah Tarana-i-Hudi (lagu kebangsaan India) pada waktu itulah periode pertama syair Iqbal berakhir pada tahun 1905.

Periode kedua sewaktu ia pergi meneruskan pelajaran di Eropa ia menulis beberapa lirik yang indah dalam bentuknya yang lama pada waktu ia belajar di Inggris dan Jerman, tetapi sikapnya terhadap banyak hal mengalami perubahan besar.

Syair pertamanya bahwa ia menunjukkan perubahan sikap terjadi pada bulan maret 1907 sewaktu ia menulis ghazal yang sangat masyhur:

Waktu keterbukaan telah tiba

Yang tercinta akan dapat terlihat oleh semua.

Rahasia yang tertutup oleh keheningan sekarang ini

Akan tampak nyata.

Sekembalinya dari Eropa, perubahan spiritual dan ideologis Iqbal makin mendalam yang menarik dari periode ini yang menggambarkan perubahan Iqbal dari nasionalis India kepada kampiun kebangsaan muslim. Salah satu ekspresi yang sangat penting dari perubahan sifat Iqbal adalah ”Islamic Anthem” (lagu kebangsaan Islam) yang disusunnya. Iqbal juga merupakan penyambung lidah umat muslim dengan pedih mengadu kepada Tuhan bahwa sekalipun diantara manusia di dunia, umat Muslim telah berbuat paling banyak untuk meningkatkan penyembahan kepada Tuhan yang maha esa namun mereka ditimpa takdir dengan segala macam malapetaka:

“ada bangsa-bangsa di samping kita ; ada orang-orang yang berbuat dosa          diantara         mereka juga,

Rakyat yang sederhana dan mereka yang mabuk dengan kebanggaan,         kesombongan, masa bodoh dan licik.

Ratusan orang ada di sana yang menghina nama-Mu,

Tetapi rahmat-Mu turun di tempat-tempat tinggal mereka.

Dan tidak ada kecuali kilat yang menyambar kita

Kemudian ia juga menulis mengenai pendidikan modern:

“Anggur yang baru ini akan makin melemahkan pikiran:

Cahaya yang baru ini hanya akan makin menebalkan kegelapan.”

Periode ketiga sejak tahun 1907 Iqbal menganjurkan solidaritas dan persaudaraan muslim. Namun demikian itu tidak menyebabkan konflik dengan sesama rakyat senegerinya. Dan kenyataannya kaum nasionalis Hindu telah mendukung satu bentuk Pan Islam yang memudahkan pembentukan front bersama melawan Inggris. Pada 1921 peraturan seperti Dyarchy diperkenalkan di propinsi-propinsi, dan Punjab memperoleh dua orang menteri yang cakap, yaitu Sir Fazli Husaen dan Lala Hartishan Lal. Pada waktu itu umat Muslim merupakan mayoritas yang jelas di Punjab.

Wilayah Pemikirannya

Dari beberapa syair Iqbal yang dipelajari oleh penulis, diketahui bahwa pemikiran Iqbal tidak hanya sebatas pemikiran keagamaan, tetapi juga merambah keberbagai wilayah, seperti budaya, sosial dan politik.

Pada wilayah budaya dan peradaban Mahmud berpendapat bahwa, peradaban Barat bukanlah merupakan peradaban yang ideal ia hanyalah merupakan kemajuan material. Peradaban Barat Menurutnya bagai dua mata sisi mata uang. Satu sisi menampakkan kebaikan dan sisi yang lain menunjukkan keburukan. Sisi ditunjukkan dengan kemampuannya dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang menghasilkan kemajuan material dan sisi buruknya adalah kegagalan mewujudkan perdamaian. Sebagaimana ungkapan puisinya:

Aduhai penduduk Barat, bumi Allah ini bukanlah warung

Dan emas kencana yang kau sayangkan kemilau itu

Tidaklah akan bernilai

Kebudayaanmu akan membunuh diri senidiri

Oleh kerja tanganmu

Dan sangkar yang kau letakkan di dahan rapuh

Akan jatuh terkulai

Pada wilayah sosial dan politik Iqbal bersikap tidak begitu saja menerima apa yang datang dari Barat, walaupun ia tidak anti barat bahkan ia dalam banyak hal sangat responsip terhadap kemajuan Barat. Ia mengkritik kapitalisme dan sosialisme yang di sana sini terdapat kekurangan.

Aku akan membawa pemberian darimu ke India,

Dan menjadikan orang lain menangis seperti aku sekarang ini.

Kesimpulan

Muhammad Iqbal adalah seorang ahli filsafat dan seni yang sangat jenius. Dengan demikian ia memperoleh beberapa gelar, dan ia berpikir lebih condong dari evolusioner daripada revolusioner. Iqbal juga merupakan pemimpin umat Muslim yang diakui dan mengabil peran aktif dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan umat muslim pada waktu itu.

MUHAMMAD IQBAL

oleh Fat Hurrahman

I. PENDAHULUAN

Muhammad Iqbal, penyair, pujangga dan filosof besar abad ke-20, dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 Nopember 1877[1].

Dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat seorang pemikir, pujangga, pembaharu Islam Iqbal yang bukan saja berpengaruh di negerinya Pakistan tapi juga di Indonesia sendiri[2]. Disini penulis menitik beratkan pada pemikirannya di bidang hukum Islam walaupun disinggung sedikit tentang perannya dibidang perpolitikan.

Di dalam kehidupannya Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi lewat tarian penanyalah yang menghempaskan bangunan unionist dan meratakan jalan untuk berdirinya Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia mengkritik sebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang didalam kejumudan.

II. LATAR BELAKANG

Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus[3]. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang telah memluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat[4].

Pada usia sekolah, Iqbal belajar Al Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hapal ayat-ayat Al Qur’an yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan keislamannya.

Selanjutnya di meneruskan ke Scottish Mission School, Sialkot. Disini dia bertemu guru ternama sekaligus teman karib ayahnya, Sayid Mir Hasan. Pengaruh Mir Hasan ini sangat kuat pada dirinya ini dibuktikannya dengan menolak pemberian gelar Sir oleh pemerintah inggris pada tahun 1922, sebelum gurunya mendapat gelar kehormatan pula, yaitu Syams al- ‘Ulama.

Dalam sebuah sajaknya Iqbal mengakuinya :

Cahaya dari keluarga Ali yang penuh berkah

Pintu gerbangnya dibersihkan senatiasa

Bagiku bagaikan Ka’bah

Nafasnya menumbuhkan tunas keinginanku, penuh gairah hingga menjadi kuntum bunga yang merekah indah

Daya kritis tumbuh dalam diriku oleh cahayanya yang ramah [5].

Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore. Disini ia melanjutkan studi Government College gurunya adalah – Sir Thomas Arnold[6]. Disini dia mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab karena kejeniusannya pula dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold[7]. Arnoldlah yang mendorongnya agar -melanjutkan pendidikannya ke Inggris karena melihat kejeniusan Iqbal. Setelah selesai di Government College Iqbal belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual Iqbal dimulai[8].

Iqbal memilih melanjutkan di Cambridge University, Inggris, ia belajar filsafat dengan Mc. Taggart, kemudian mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich, Jerman dan lulus pada tahun1908 dengan disertasi berjudul The development of Methapysics of Persia[9]. Didalam disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam ajaran tasawwuf dengan mengatakan tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam ajaran Islam yang murni. Iqbal melihat ada nilai-nilai baik yang transendental yang tak dimiliki oleh Eropa. Barat, menurut Iqbal, kehilangan semangat spritual dan terlalu menumpukan pada rasio dalam menjawab setiap problematika.”Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi ia yakin Islam lebih baik[10]. Dia kembali dari Eropa sebagai Pan-Islamis bahkan bisa dikatakan sebagai puritan. Perubahan spritual dan ideologis Iqbal makin dalam dari nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa yakin bahwa antara Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara terpisah dan tindakannya sendiri sudah jelas.

III. KEMBALI KE PAKISTAN.

Iqbal kembali pada tahun 1908. Dia berprofesi sebagai pengacara, guru besar di Universitas dan penyair sekaligus. Namun dia meninggalkan profesinya dan menjadi penyair sejati[11]. Ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran[12]. Di masa Pakistan inilah bukunya banyak dihasilkan.

  1. Karya yang berbahasa Persia Asrar-i– Khindi, Rumuz-i-Berkhudi, Payam-i-Masriq, Zaburi-i– Ajam, Jawid Namah, Pasceh Baid Aye Aqwam-i-Syarq dan Lala-i-Thur.
  2. Yang berbahasa Urdu : Ilmu Al-Iqtisad (ilmu ekonomi), Bang-i-Dara, Bal-i– Jibril, Zarb-i-Kalim, Arughan-i-Hijaz, Iblis ki Majlis-i-Syura, Iqbal Namas, Makatib Iqbal, dan Bagiyat-i-Iqbal.

3. Yang berbahasa Inggris : Develoment of Methaphysies in Persia : A Contribution to the history of Moslem, Philoshopy (perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam) dan the Reconstroction of Religius Thought in Islam (pengembangan kembali alam pikiran Islam)[13].

Pergeseran pemikiran Iqbal ini lebih memprlihatkan bentuknya dalam karyanya Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Buku ini kumpulan dari enam ceramahnya di Madras, Hyderabad dan Aligarh. Edisi pertama buku ini terbit di Lahore pada 1930, berjudul Six Lecturer on the Reconsturction of Religious Thought in Islam. Pada edisi berikutnya disederhanakan menjadi – The Reconstruction of Religious Thought in Islam disini dia telah mencapai posisinya sebagai pemikir liberal yang telah mencapai kematangan intelektual. Dia mengecam terhadap filsafat Yunani, terutama Plato, sebagai penyebab mundurnya ummat Islam[14].

IIV. PEMIKIRAN IQBAL TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM

A. AL-QUR’AN

Sebagai seorang Islam yang di didik dengan cara kesufian[15], Iqbal percaya kalau al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada – Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita)[16]. Namun demikian dia menyatakan bahwa bukanlah al – Qur’an itu suatu undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al Qur’an adalah – membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Qaur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah dituntut pengembangannya.Ini didalam rumusan fiqh dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al – Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al – Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “ Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.[17]

Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al Qur’an, namun dia melihat ada dimensi-dimensi didalam al Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurutnya para mullah dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya. Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh ketidakmampuan umat Islam India dalam mamahami – al -Qur’an disebabkan ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan – al-Qur’an. Dia begitu terobsesi untuk menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi legalita dan kehidupan duniawi. Sedangkan Kristen gagal dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi, karena lebih mementingkan segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam kegagalan kedua agama tersebut al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan kehidupan individual dan sosial ;ritual dan moral. Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali, inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.

Pandangan Iqbal tentang kehidupan yang equilbirium antara moral dan agama ; etik dan politik ; ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak keruntuhan dan kehancuran Bagdad, 1258. sehingga masyarakat Islam tidak mampu lagi menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam – (al-Qur’an).

Akhirnya walaupun tidak ditegaskan kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi, akibatnya, hukum pun menjadi statis dan al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap problematika.

Inilah yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.

Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan[18].

B. AL-HADIST

Sejak dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.

Kalangan orientalis yang pertama kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz Goldziher. Menurutnya sejak masa awal Islam dam masa-masa berikutnya , mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya hingga menjadi berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist[19].

Iqbal setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi belaka.

Oleh karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al – Qur’an.

Pandangan Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.

C. IJTIHAD

Katanya “exert with a view to form an independent judgement on legal question”, (barsungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu :

1. Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja.

2. Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.

3. Otoritas Khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzdab.

Namun Iqbal lebih memberi perhatian pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl- al- sunnah, tetapi dalam kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum al Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.

Akibat ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor :

1. Gerakan rasionalisme yang liar, dituduh sebagai penyebab disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian al – Qur’an[20].Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab. Dan sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam[21]. Disamping itu, perkembangan ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis. Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya.

2. Setelah Islam menjadi lemah penderitaan terus berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat peradaban Islam diserang dan diporak-porandakan tentara mongol pimpinan Hulagu Khan.

3. Sejak itulah lalu timbul disintegrasi. Karena takut disintegrasi itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk menyeragamkan pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan bid’ah-bid’ah dam menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah keadaan dalam dunia Islam.

Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali ijtihad-ijma’ dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan umum. Bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran spekulatif subjektif yang bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.

Oleh karenanya Iqbal memandang perlu mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk paling tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam[22].

V. ANALISIS

Dari pemikiran-pemikiran Iqbal diatas tadi, sudah saatnya kita bergerak dan tidak terpaku dengan keadaan sekarang didalam kejumudan. Kita ingin umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.

Dan jangan sampai kebebasan yang ada disalah gunakan untuk kepentingan sendiri dan golongan dengan mengatas namakan hukum agama. Kita sekarang memang sedang krisis ketauladanan. Yang ada hanya pembodohan umat dimana-mana. Hukum dibuat bagai mainan. Bahkan yang lebih parah lagi kalau sudah seorang ulama memperalat masyarakat Islam hanya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga.

VI. PENUTUP

Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan radikal.

Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini?. Dengan tepat Iqbal menjawab, “bisa, kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir ‘Umar Ibn Al Khathtab”.


[1] Muhammad Iqbal. Drs., “Rekonstruksi Pemikran Islam”, Kalam Mulia, 1994, hal. 1

[2] Ibid, hal. 126

[3] Ali. H. M., “ Alam Pemikiran Islam di India dan Paskistan”, Mizan, Bandung 1993. hal. 173

[4] Muhammad Iqbal. Drs, op.cit, hal. 44

[5] Ibid., hal. 46

[6] Loc. cit

[7] H.M Mukti Ali, Op. Cit., hal. 174

[8] Muhammad Iqbal. Drs, Op.cit,, hal. 47

[9] Ihsan Ali Fauzi dan Nurul Agustina, Op. Cit., hal. 143

[10] Muhammad Iqbal. Drs., Op., Cit., hal. 49

[11] Muhammad Iqbal. Drs, op.cit,, hal. 51

[12] Harun Nasution, “Pembaharuan dalam Islam”, Bulan bintang, Jakarta, 1987, Cet. Ke-05 hal. 191

[13] Departemen Pendidikan Nasional.,Ensiklopedi Islam”,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002

[14] Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 59

[15] Ibid., hal. 44

[16] Ibid., hal. 67

[17] Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 68 – 69

[18] Ibid., hal. 69 – 73

[19] Ibid., hal. 74 – 75

[20] Ibid., hal. 76-84

[21] Harun Nasution, Op. cit hal. 191

[22] Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal.84 – 92