Perlukah Menarik Zakat dengan Cara Paksa?
Oleh : H. MANGARAHON DONGORAN
Penyunting dan Editor : Fat Hurrahman
ZAKAT merupakan rukun Islam ketiga dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syaratnya, wajib mengeluarkan zakat. Zakat begitu penting, sehingga jika diibaratkan sebuah bangunan rumah, zakat adalah dindingnya, setelah shahadat menjadi Pondasi, salat menjadi tiang, puasa menjadi atap, dan haji menjadi taman yang indah (bagi yang memiliki halaman luas),
Presiden Megawati Soekarnoputri ketika memberikan sambutan pada pembukaan Rakornas Pertama Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat Seluruh Indonesia menyebutkan, “Berbagi rasa dan harta kekayaan yang dititipkan oleh Tuhan bukan saja menumbuhkan kebahagiaan tersendiri, melainkan juga bentuk nyata dari keimanan seseorang.”
Pernyataan Megawati itu semakin mengingatkan kepada kaum Muslimin akan kewajibannya mengeluarkan zakat.
Tidak berjalan mulus
Lalu kalau begitu mengapa masalah zakat ini tidak berjalan mulus sesuai harapan? Apakah ada yang perlu dibenahi? Apa perlu zakat itu dikelola sebuah badan khusus, atau jika memungkinkan ditangani Kementerian Negara? Tidak seperti penanganan sekarang, zakat hanya berada di bawah Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama.
Masalah inilah yang mencuat dalam Dialog Nasional yang menampilkan pembicara A.M.Fatwa, Marwah Daud Ibrahim, Zainulbahal Noor, Umar Shihab, dan Muslimin Nasution. Para pembicara dan peserta dialog sepakat masalah zakat ini harus ditangani oleh badan yang lebih tinggi dari sekarang. Setidaknya, penanganannya harus Direktorat Jenderal (paling rendah) atau kalau memungkinkan ditangani Menteri Negara Urusan Zakat, seperti halnya di beberapa Negara Islam.
Keinginan agar zakat ini ditangani sebuah badan sebenarnya mengacu pada apa yang dicontohkan Rasulullah Saw. Sekarang ini, di sejumlah negara Islam, pengelolaan zakat juga ditangani pemerintah melalui lembaga amil yang didukung sistem yang mapan. Malaysia memiliki lembaga profesional dalam pengelolaan dana zakat. Di Negeri Sembilan, misalnya — salah satu dari 13 negara bagian Malaysia– telah memiliki sebuah lembaga pengelola zakat, yaitu Pusat Zakat Negeri Sembilan.
Amendemen UU Zakat
Itu adalah contoh negara yang patut ditiru Indonesia dalam pengelolaan zakatnya. Meski Indo-nesia sudah hampir lima tahun memiliki UU, tetapi UU tersebut dirasa masih kurang memadai. Malah, dalam diskusi tersebut terbetik keinginan agar UU tersebut segera diamendemen, sehingga pengelolaan zakat bisa lebih baik lagi dari sekarang.
Sebenarnya, potensi zakat dari umat Islam Indonesia mencapai Rp 7,4 triliun per tahun. Perkiraan yang dikemukakan Menteri Agama Said Aqil Al-Munawar itu didasarkan pada asumsi Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam atau 40 juta keluarga, dan sebagian dari itu atau sekira 32 juta keluarga merupakan penduduk sejahtera berpenghasilan Rp 10 juta sampai Rp 1 miliar per keluarga per tahun. Dengan kewajiban zakat 2,5 persen dari batas nisab (setara 85 gram emas), maka angka Rp 7,5 triliun diperoleh. Itu baru dari zakat mal.
Namun, kenyataannya dana yang berhasil dikelola selama ini sangat jauh dari nilainya bila diukur dari besarnya jumlah Muslim di Tanah Air. Menurut Data yang dikeluarkan Departeman Agama, tahun 2002, ZIS (Zakat Infak dan Sadekah) yang dihasilkan tidak menyentuh angka Rp 1 triliun. Dari zakat fitrah hanya dikantongi dana Rp 208,2 miliar, zakat mal Rp 25,7 miliar, infaq Rp 13,8 miliar dan sedekah Rp 144 miliar. Angka ini masih sangat jauh jika dibandingkan dengan yang dikemukakan Menteri Agama itu. Namun, jika dilihat lebih jauh dan lebih nyata, angka Rp 7,5 triliun yang dikemukakan Menag itu mungkin masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan potensi dana umat Islam yang sebenarnya.
Apa yang menyebabkan kaum Muslim masih enggan mengeluarkan zakatnya? Mengapa yang baru tergali belum sampai 10% dari angka yang dikemukakan Menag? Adakah ini menyangkut ketidak percayaan masyarakat Muslim terhadap penyelenggara pengelola zakat itu? Atau memang karena dianggap kurang menguntungkan.
Takut dikorup
Masyarakat masih enggan membayar zakat, karena khawatir dananya dikorup, seperti uang pajak yang mereka bayarkan. Sebab, bukan rahasia lagi, dalam pengelolaan zakat sendiri masih banyak terjadi kebocoran. Masih banyak dana zakat yang dikeluarkan kepada mereka yang bukan semestinya menerima. Hal-hal semacam inilah yang kemudian membuat masyarakat enggan mengeluarkan zakatnya — selain tentu sebagian masyarakat merasa kurang mengetahui tata cara mengeluarkan zakat itu sendiri. Takut seperti dana Haji yang hingga sekarang masih belum jelas keberadaannya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. Umar Shihab menyebutkan, salah satu faktor mengapa lembaga-lembaga amil zakat masih belum bisa optimal dalam menghimpun dana dari masyarakat, tidak lain karena masyarakat masih menganggap bahwa membayar zakat itu hanya di bulan Ramadan. Yang lebih naif lagi, ma-sih ada yang menganggap, fakir miskin yang datang meminta-minta pada saat hari raya adalah sasaran zakatnya. Jadi, masyarakat masih banyak yang terbelenggu dengan kebiasaan seperti itu.
Yang berhak menerima zakat sudah ditegaskan Allah Swt dalam Alqur’an Surat At-Taubah ayat 60. Jika dirinci, yang menerima itu adalah fakir, miskin, amil (panitia/petugas zakat), mualaf, budak, orang yang berutang, fii sabilillah (bisa untuk pembangunan sarana ibadah, sekolah) dan ibnu sabil.
Melihat masih minimnya kesadaran membayar zakat ini pula, Zainulbahar Noor mengusulkan agar penarikannya dilakukan secara paksa sebagaimana dilakukan pada zaman Khalifah Abubakar. “Kalau memang tujuannya untuk membangkitkan potensi ekonomi umat, maka harus dilakukan secara paksa, seperti halnya dalam pajak. Hanya, yang memaksa itu tentu dari lembaga yang dibuat pemerintah,” tegasnya.
Sebenarnya, tanpa paksaan pun zakat itu sudah mestinya dikeluarkan, karena merupakan rukun Islam. Umat Islam jangan ragu-ragu mengeluarkan zakatnya, sebab itu tidak akan mengurangi hartanya, tetapi malah sebaliknya.
“Zakat itu adalah harta titipan atau yang diutangkan pada Allah Swt. Zakat itu, meski diutangkan, tetapi tidak mengenal bunga seperti yang berlaku pada bank-bank. Tetapi, pasti dapat ganti berlipat ganda. Zakat yang dikeluarkan tidak akan hilang, tetapi akan berlipat ganda. Zakat yang dikeluarkan itu disimpan di BCA (Bank Central Akhirat),” kata K.H.Mohammad Zeny, dari Dewan Syariah Majelis Syuro DPP Front Pembela Islam (FPI).***
Penulis, wartawan Pikiran Rakyar Bandung
————————————————
Pengentasan Kemiskinan Lewat Peradaban Zakat
Oleh : Irfan Syauqi Beik*
Perkembangan pengelolaan zakat, infak dan shadaqah (ZIS) di Indonesia semakin menunjukkan peningkatan yang berarti, baik dari segi penghimpunan, pengelolaan, pendayagunaan, maupun pertanggungjawaban. Kesadaran masyarakat untuk membayar zakat pun semakin meningkat. Sebagai contoh, dana zakat yang terkumpul pada tahun 2005 lalu mencapai angka Rp 820 miliar, atau naik sebesar 173 persen dari perolehan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 300 miliar (Baznas, 2006).
Masyarakat semakin menunjukkan keyakinan bahwa dana ZIS ini memiliki potensi untuk mengentaskan problematika kemiskinan yang saat ini tengah dihadapi bangsa Indonesia. Bahkan, dalam sebuah penelitian Ketua Baznas, Didin Hafidhuddin, pada Mei-Juni 2006 lalu di wilayah Jadebotabek, terungkap bahwa sebanyak 86 persen muzakki/munfiq memiliki keyakinan dana ZIS akan mampu mengentaskan kemiskinan.
Untuk mencapai hal tersebut, mereka berpendapat bahwa dana ZIS ini harus dikelola melalui lembaga yang amanah dan profesional (67 persen). Jika tidak, maka dampak ZIS tidak akan signifikan. Sungguh ini merupakan sinyalemen yang sangat menggembirakan.
Kita pun melihat bahwa lembaga zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ), memiliki peran dan kontribusi yang sangat signifikan di dalam penanganan daerah-daerah bencana. Dapat dikatakan bahwa BAZ dan LAZ ini merupakan representasi partisipasi umat Islam dalam membantu mereka yang memerlukan pertolongan, tanpa menafikan peran ormas-ormas Islam dan individu-individu Muslim. Kinerja mereka cukup optimal sehingga dampaknya dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat, meskipun jumlah dana bantuan yang diberikan masih sangat sedikit dan terbatas.
Kondisi demikian seharusnya semakin menyadarkan para pengambil kebijakan negeri ini untuk senantiasa berupaya menjadikan pengembangan ZIS sebagai agenda nasional. Tanpa adanya dukungan kuat dari pemerintah dan DPR, maka instrumen ZIS ini tidak akan tumbuh secara cepat dan kuat. Penulis berpendapat jika kita ingin menjadikan zakat dan instrumen-instrumen ekonomi syariah lainnya sebagai fondasi perekonomian bangsa, maka dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah dan DPR menjadi sebuah keharusan. Salah satu sebab mengapa ekonomi kapitalis menguasai dunia adalah karena dukungan yang kuat dari pemerintahan negara-negara yang menjadikan kapitalisme sebagai landasan perekonomiannya. Sehingga, mau tidak mau, political economic menjadi gelanggang yang harus dimasuki oleh ekonomi syariah.
Fondasi Peradaban
Sesungguhnya, kalau kita cermati sejarah umat Islam, maka peradaban Islam tidak dapat dilepaskan dari zakat. Bahkan, menurut Ahmad Juwaeni –salah seorang dinamisator zakat Indonesia– tidak mungkin peradaban Islam akan tegak tanpa optimalnya pengelolaan zakat. Menurut Ahmad Juwaeni, adanya sekelompok orang yang memiliki dedikasi tinggi sebagai amil zakat merupakan prasyarat agar kegemilangan peradaban masa lalu dapat kembali diwujudkan di masa yang akan datang.
Penulis menyadari bahwa untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah. Banyak ekonom yang berpendapat bahwa zakat tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena persentasenya sangat kecil, yaitu hanya 2,5 persen. Bagaimana mungkin zakat akan mampu mempengaruhi, misalnya, pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan persentase sebesar itu.
Munculnya keragu-raguan tersebut adalah karena hingga saat ini belum ada satu negara Muslim pun yang dapat dijadikan sebagai model yang tepat. Malaysia sebagai contoh, memiliki keunggulan dalam hal penghimpunan zakat dibandingkan Indonesia. Namun demikian, dalam hal pendayagunaan zakat, penulis melihat justru Indonesia yang lebih unggul dibandingkan Malaysia. Indonesia memiliki kreativitas yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara Muslim lainnya dalam hal pemberdayaan dana ZIS. Tetapi karena dana zakat yang ada di Indonesia jumlahnya masih sangat kecil, yaitu kurang dari 1 persen dari total GDP, maka ‘seolah-olah’ ada tidak-adanya zakat tidak mempengaruhi perekonomian kita secara makro. Tentu saja itu adalah anggapan yang salah.
Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Ashbahani, telah bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan Muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan Muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih”.
Berdasarkan hadis tersebut yang kita yakini kebenarannya secara mutlak, maka zakat merupakan solusi untuk menjawab kemiskinan. Satu hal yang sangat menarik adalah Allah SWT membandingkan antara zakat dan riba. Zakat, meskipun secara nominal mengurangi harta, tetapi pada hakikatnya menambah harta di sisi Allah SWT. Sedangkan riba, meskipun secara nominal menambah harta, namun pada hakikatnya justru mengurangi harta di sisi Allah SWT (QS Ar Ruum:39).
Penulis berkeyakinan bahwa pasti ada rahasia di balik perbandingan ini. Kalau kita cermati, boleh jadi Islam menginginkan umatnya untuk memiliki paradigma bahwa zakat sesungguhnya bukan sekadar charity atau kedermawanan sosial. Ia merupakan bentuk investasi yang bersifat ukhrawi dan duniawi. Bertambahnya harta yang dikeluarkan zakatnya di sisi Allah SWT menunjukkan bahwa ia pada hakikatnya merupakan investasi yang bersifat ukhrawi. Sedangkan yang bersifat duniawi adalah zakat dapat mendorong pembukaan lapangan pekerjaan baru, sehingga akan meningkatkan pendapatan dan daya beli kaum dhuafa. Peningkatan tersebut pada akhirnya akan mendorong tumbuhnya perekonomian masyarakat.
Dengan paradigma demikian, diharapkan akan muncul kesadaran dan orientasi masyarakat yang lebih mencintai untuk memberi daripada menerima. Dengan semangat ini pula, masyarakat akan terpacu untuk meningkatkan produktivitasnya dan mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya, sebab bagaimana mungkin ia akan mampu memberi dan berinvestasi jika ia tidak produktif menghasilkan sesuatu. Tipe masyarakat yang produktif inilah yang sesungguhnya menjadi dasar pembangunan peradaban Islam di masa depan.
Agenda ke Depan
Ada dua agenda yang sangat penting. Pertama, memperkuat sistem zakat nasional. Kedua, mengembangkan jaringan dan kerja sama internasional dengan negara-negara Muslim lainnya. Pertemuan Dewan Zakat Asia Tenggara di Kuala Lumpur pada Maret 2006 diharapkan menjadi stimulus bagi pengembangan wadah-wadah serupa di tingkat regional di berbagai belahan dunia lainnya.
Wacana pembentukan baitulmal internasional harus segera direalisasikan. Lembaga inilah yang nantinya diharapkan menjadi pusat zakat internasional. Dia bertugas mengatur aliran dana dari negara surplus zakat kepada negara minus zakat, serta menjadi sumber rujukan internasional dalam penghimpunan dan pendayagunaan sumber daya zakat bagi kepentingan strategis umat Islam sedunia.
Melalui cara inilah diharapkan kesadaran umat Islam untuk berzakat, berinfak, dan bershadaqah akan muncul, sehingga kekuatan umat secara kolektif akan tumbuh dan berkembang. Jika 80 persen saja umat Islam mau membayar zakat, maka sebagaimana yang dinyatakan oleh Didin Hafidhuddin dan Ahmad Juwaeni, munculnya kegemilangan peradaban zakat jilid dua tinggal menunggu waktu saja. Namun, bilakah hal itu tiba? Semuanya kembali terpulang pada kerja keras kita bersama. (Republika/dn)
*Dosen FEM IPB dan Peneliti Islamic Economic Forum for Indonesian Development
Fakta Angka
Rp 820 miliar – Dana zakat yang terkumpul pada tahun 2005
173 persen – Pertumbuhan perolehan zakat pada periode 2004-2005